PANTAI PETANAHAN

Pantai Petanahan merupakan Obyek wisata tahunan. Ini mengingat
pengunjung yang datang ke Obwis (Obyek Wisata) tersebut, paling dalam
satu tahun hanya dua kali. Lebaran Idul Fitri dan pada hari raya Idul
Adha, atau hari raya Qurban.
Hanya saja, Obwis tersebut mempunyai keunikan tersendiri dibanding Obwis
lainnya di Kabupaten Kebumen. Pengunjungnya bukan hanya dari luar
Kabupaten Kebumen, tetapi masyarakat di sekitar lokasi tersebut, yakni
masyarakat kecamatan Petanahan tetap menyempatkan diri untuk datang ke
pantai tersebut.
Pantai yang terletak di Desa Karanggadung Kecamatan Petanahan ini,
nampaknya memang mempunyai kekhasan tersendiri. Seolah ada daya pikat
bagi pengunjung yang pernah datang. Sekalipun mereka hanya untuk
menikmati deburan ombak laut yang seolah berkejaran tak ada
henti-hentinya.
Sekalipun panas terik matahari menyengat tubuh Wisatawan yang datang ke
Pantai tersebut, misalnya di saat hari raya Idul Fitri, terutama pada
hari ke tujuh dan ke delapan. Namun pengunjung tak ada hentinya sampai
malam hari. Padahal, mereka ini harus datang berhimpit sampai ke Pantai
Petanahan.
Pandan Cemara

Tidak seperti Pantai di Kabupaten Kebumen lainnya, pengunjung bisa
menikmati deburan ombak dan menyaksikan hamparan laut selatan ini seolah
tak ada batasnya. Ini salah satu yang membuat pengunjung merasa puas
datang ke Obwis tersebut.
Setelah berjalan-jalan menelusuri pantai yang begitu luas, dengan
menyaksikan deburan ombak laut yang bekejar-kejaran, kita bisa
menyaksikannya dengan duduk-duduk santai di pengunungan pantai tersebut
yang sekelilingnya ini terdapat tumbuhan cemara dan pohon pandan yang
mempunyai mitos sendiri.
Duduk bercanda dan bercengkrama menyaksikan lalut begitu indahnya bisa
melupakan semua persoalan yang kita hadapi. Selain itu, akan
mengingatkan kita akan kebesaran Tuhan yang telah menciptakan bumi dan
isinya, termasuk laut Petanahan yang sedang kita saksikan bersama
keluaraga, atau bisa jadi dengan pacar dan di laut ini pula kita sering
bertemu dengan teman yang sudah lama tak jumpa.
Dibangun

Tak bedanya dengan seorang gadis yang mulai senang berdandan, pantai
Petanahan ini juga mulai berbenah diri. Sekalipun sekarang keadaanya
belum selesai, karena melalui beberapa tahapan, namun perubahan Obwis
tersebut sudah kelihatan tertata apik dan menjanjikan sesuatu yang baru
bagi pengunjung yang datang.
Sekarang sudah mulai bisa kita lihat adanya gedung kantor,panggung
hiburan, sekalipun belum selesai dikerjakan, namun dapatlah kita
beristirahat di gardu pandang yang memang disediakan oleh Dinas
Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Kebumen. Selain itu, jalan menuju
pantai Petanahan ini sangat mulus.
Perubahan lain yang bisa kita saksikan pada Garis Pantai Petanahan ini
adalah adanya pembangunan Pendopo di dekat pesanggrahan Pandan Kuning
yang memang mempunyai mitos tersendiri bagi mereka yang gemar melakukan
semedi.
Selain itu, pengunjung Pantai Petanahan ini sekarang sudah ada perubahan
yang begitu pesat. Jadi, ramainya bukan hanya saat lebaran atau hari
besar lainnya. Penduduk sekitar Kecamatan Petanahan, Puring, Klirong,
Adimulyo, bahkan ada yang datang dari Gombong dan Kebumen tiap hari
Minggu pagi pantai tersebut dimanfaatkan untuk sarana olahraga.
Ada yang datang dengan jalan kaki berkilo-kilo, ada yang menggunakan
sepeda, juga tak sedikit yang menggunakan sepeda motor. Begitu sampai di
pantai, mereka langsung jalan-jalan atau lari ke sana-kemari. Setelah
itu, mereka bisa beristirahat dengan menikmati minuman Nira dan makan
nasi kuning yang dibungkus kecil-kecil, atau menikmati makanan lainnya
yang juga cukup murah.
Cinta Sejati

Kebanyakan pengunjung di Obwis Pantai Petanahan ini memang kalangan
remaja. Lebih khusus, mereka kebanyakan datang berdua dengan sang
kekasih. Secara mitos, ini tentu bisa kita terima. Sebab, di Pantai
tersebut ada kisah cinta yang memang cukup menarik untuk disimak.
Menurut para sesepuh, tokoh masyarakat dan buku legenda yang ditulis
oleh Dinas Pariwisata setempat, pada sekitar tahun 1601, yakni pada masa
pemerintahan Mataran yang Rajanya Sutawijaya, terlahirlah seorang gadis
cantik dan jelita yang bernama Dewi Sulastri.
Hidungnya yang mancung dengan mukannya lonjong bagai telor, kulitnya
yang juga kuning dan rambut panjang terurai, menambah kece Sulastri.
Kelebihan lainnya, gadis keturunan bangsawan ini ternyata tak mempunyai
watak sombong, di mana cewek kece ini selalu bersikap ramah pada
siapapun.
Namun begitu, darah bangsawan yang bernama Lastri, panggilan akrab
Sulastri ternyata merasa terkekang dengan adat yang terjadi di
lingkungannya. Sebab, Lastri ini adalah anak dari seorang Bupati Pucang
Kembar. Ayahnya tak lain adalah Bupati Citro Kusumo yang memang cukup
disegani oleh warganya.
Ternyata, Sulastri ini oleh ayahnya telah dicalonkan dengan Joko Puring.
Seorang Adipati di Bulupitu. Sayang, dara jelita ini tak mau dijodohkan
dengan lelaki bernama Joko Puring. Katanya sekalipun Adipati yang
bernama Joko Puring ini juga cukup keren, namun Lastri tak merasa adanya
getaran cinta.
Makanya, begitu ada seorang bernama Raden Sujono, sekalipun hanya
seorang anak Demang dari Wonokusumo, yang datang untuk mengabdi menjadi
seorang pembantu, Lastri dengan berbagai argumentasi pada ayahnya agar
orang tersebut diterima sebagai abdi dalem di Pucang Kembar.

Rupanya Bupati Citrokusumo tak kuasa menolak keinginan anaknya dan
diterimalah Raden Sujono sebagai Abdi di Pucang Kembar. Padalah, Joko
Puring sebelumnya juga telah mengajukan argumentasi pada Camernya (Calon
mertuanya), agar menolak keinginan Raden Sujono sebagai Abdi di Pucang
Kembar.
Terjadilah cinta segitiga antara Joko Puring dan Raden Sujono yang
sama-sama mencintai Dewi Sulastri yang cukup kece itu. Bedanya, cinta
Raden Sujono bahkan sangat diharapkan oleh putri citra Pucang Kembar,
sedang Joko Puring cintanya tak kesampaian.
Cinta segitiga ini akhirnya berkembang menjadi huru-hara bagi Kabupaten
Pucang Kembar. Namun dengan modal tampan dan kesungguhannya, Raden
Sujono berhasil mempersunting Ratu Ayu Kabupaten Pucang Kembar
menggantikan Citro Kusumo menjadi bupati di Kabupaten tersebut.
Prahara cinta ini tak berhenti sampai di sini, sekalipun sudah
dipertaruhkan dengan adanya Sayembara dan dimenangkan oleh Raden Sujono.
Buntutnya ketka suami Sulastri sedang menjalankan tugas negara
memberantas berandal, atau preman-preman, secara ekbetulan Joko Puring
bisa membawa lari Sulastri sampai ke Pantai Karanggadung yang sekarang
dikenal sebagai Pantai Petanahan.
Tetapi hal tersebut diketahui oleh Raden Sujono dan akhirnya terjadi
lagi pertarungan yang maha dahsyat dua satria yang memang punya
kesaktian. Namun begitu, Sulastri akhirnya bisa direbut kembali oleh
suaminya. Dalam versi lain disebutkan, bahwa ketika Sulastri diikat pada
pohon Pandan ternyata ada suatu keajaiban.
Pandan tersebut beruabah menjadi Pandan Kuning dan nama tersebut
digunakan untuk memberi nama tempat istirahatnya Sulastri dan suaminya,
setelah Joko Puring berhasil dihalau pergi entah kemana. Sedang Sulastri
yang telah dibawa pergi oleh Joko Puring tetap tak mau menerima cinta
Joko Puring seklipun diancam akan dibunuh.
Inilah kesetiaan dari Dewi Sulastri terhadap suaminya yang sejak awal
memang didambakan. Prinsipnya, sekalipun ditinggal tugas oleh suaminya
sekian lama, toh tak mengurangi kadar cintanya, bahkan sudah tak ada
tempat lagi bagi lelaki lain.
Begitu perjuangan mempertahankan istrinya dari Joko Puring berhasil,
kedua pengantin baru ini mempertahankan istrinya dari Joko Puring
berhasil, kedua pengantin baru ini beristirahat di bawah semak-semak
pandan yang ada di Pantai Petanahan yang indah tersebut. Apalagi
keduanya sudah lama berpisah, tentu merupakan saat terindah bagi
Sulastri dan Raden Sujono.
Ny. Loro Kidul

Begitu keduanya cukup beristirahat dan memadu kasih, segeralah keduanya
meninggalkan pandan yang rimbun tersebut yang telah mengukir cinta
keduanya. namun sebelumnya, Raden Sujono konon ditemui oleh Ny Loro
Kidul. Maksudnya tempat yang telah digunakan oleh keduanya beristirahat
ini diminta menjadi tempat peristirahatan, atau pesanggrahan Ny. Loro
Kidul.
Sejak itu pula, sepeninggalan Dewi Sulastri si mantan Putri Citra Pucang
Kembar, dengan leluasa tempat tersebut digunakan oleh Ny. Loro Kidul.
Sejak itu pula, tempat tersebut dimanfaatkan orang untuk semedi dan
mengheningkan cipta.
Menurut beberapa sumber, banyak sudah orang yang percaya melakukan tapa
di tempat tersebut yang berhasil, bahkan ada yang sampai membangun
tempat tersebut. Selain itu, orang-orang yang merasa berhasil semedi di
tempat ini setiap malam Jum'at Kliwon Bulan Syura diadakan upacara
larungan. Ini dimulai sejak siang hari sampai menjelang ayam berkokok.
Inilah barangkali yang membuat Pantai Petanahan mempunyai daya pikat
sendiri bagi pengunjungnya, sekalipun di tempat tersebut tak diadakan
sesuatu hiburan. apalag sekarang Pantai Petanahan ini sudah mulai
tertata rapi, tentu merupakan tempat rekreasi yang sangat didambakan
oleh wisatawan.
Dengan berjalan menyaksikan pegunungan pasir, daun cemara yang terlihat
menguning dan tanaman pandan sepanjang jalan mengantar kita untuk
menyaksikan deburan ombak Pantai Petanahan yang seolah menyambut
kedatangan Wisatawan. Tidak salah, kalau ada yang mengatakan, pantai
tersebut memang cukup indah.